Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hanya 3.300 Ekor di Dunia, Komodo Butuh Perlindungan Lebih

Kompas.com - 21/09/2025, 19:17 WIB
Wisnubrata

Penulis

Sumber UGM

KOMPAS.com - Pulau Komodo di Nusa Tenggara Timur adalah rumah bagi Varanus komodoensis, kadal purba terbesar di dunia yang masih hidup hingga kini. Namun, keberadaan satwa endemik Indonesia ini semakin mengkhawatirkan.

International Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapkannya berstatus endangered sejak 2021, sementara CITES memasukkannya dalam Appendix I, daftar hewan dilindungi dengan populasi terancam punah. Saat ini, jumlah komodo diperkirakan hanya sekitar 3.300 ekor di seluruh dunia.

Baca juga: Gigi Komodo Berlapis Besi: Temuan yang Belum Pernah Terlihat di Reptil

Ancaman Serius terhadap Habitat Komodo

drh. Aji Winarso, M.Si., mahasiswa doktoral Fakultas Kedokteran Hewan UGM yang meneliti komodo, mengungkapkan bahwa ancaman terhadap spesies ini datang dari banyak faktor.

“Selain aktivitas manusia yang mengancam, ada kerusakan habitat, fragmentasi, inbreeding atau kawin sedarah, kompetisi pakan dengan manusia, perubahan iklim, perdagangan ilegal, hingga penyakit zoonotik,” jelasnya (19/9).

Menurut Aji, konservasi yang ideal justru meminimalkan kontak manusia dengan komodo. “Kenapa disebut satwa liar? Karena harus dilepasliarkan,” tegasnya.

Baca juga: 8 Fakta Komodo, Spesies Kadal Terbesar di Bumi yang Terancam Punah

Peran Kesehatan Lingkungan dan Penelitian

Guru Besar Parasitologi sekaligus pengamat satwa liar UGM, Prof. Dr. drh. Raden Wisnu Nurcahyo, juga menyoroti ancaman penyakit. Ia pernah meneliti parasit pada komodo dan menemukan bahwa cacingan maupun infeksi dari manusia bisa mengganggu populasi.

“Publikasi tentang satwa langka sangat diminati di jurnal internasional, tetapi di Indonesia riset seperti ini masih sedikit mendapat perhatian, terutama karena minimnya pendanaan,” ungkapnya.

Prof. Wisnu menekankan pentingnya konsep “one health one welfare”—sebuah pendekatan yang menyatukan kesehatan manusia, satwa, dan lingkungan. Ia mengingatkan bahwa eksploitasi pariwisata, sampah plastik, hingga risiko penularan penyakit dari manusia ke satwa bisa mengganggu ekosistem. “Kalau manusia mau sehat, komodo juga harus sehat, lingkungannya pun harus sehat,” tegasnya.

Baca juga: Fakta-fakta Racun Komodo, Salah Satu Kadal Paling Berbahaya

Etno-Konservasi dan Peran Masyarakat Lokal

Aji menambahkan bahwa keberhasilan konservasi tidak bisa lepas dari keterlibatan masyarakat lokal. Ia menyoroti konsep etno-konservasi di Pulau Komodo yang memandang komodo sebagai “saudara sepupu” manusia. Meski komodo kadang memangsa ternak warga, masyarakat setempat tetap menjaga keberadaannya.

“Edukasi dan pemberdayaan masyarakat menjadi strategi penting agar konservasi selaras dengan kesejahteraan manusia,” katanya.

Prof. Wisnu mengingatkan pentingnya perhatian generasi muda. Komodo adalah simbol kebanggaan Indonesia, sejajar dengan harimau, gajah, dan orangutan. Jika populasinya terus menurun, bukan tidak mungkin komodo hanya akan menjadi cerita di buku sejarah, seperti dinosaurus.

“Konservasi komodo bukan sekadar menyelamatkan satu spesies langka, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem, kesehatan manusia, dan identitas bangsa. Di tangan generasi sekarang dan mendatang, masa depan ‘naga purba’ ini dipertaruhkan,” pungkasnya.

Baca juga: Apakah Komodo Berbahaya dan Bisa Membunuh Manusia?

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau